Sabtu, 19 Mei 2012

harkitnas indonesia, bangkitlah


Reporter : Erwin Saputra - Andi Wardayanto 
Juru Kamera : Dedi Suhardiman
Produser : Widayat S. Noeswa
Tayang : Senin, 19 Mei 2008, Pukul 12.30 WIB
indosiar.com, Jakarta - Kini setelah 100 tahun bangsa Indonesia menorehkan tonggak sejarah kebangkitan untuk bebas dari belengu penjajahan. Kondisi bangsa dan negara Indonesia masih diwarnai berbagai persoalan berat. Angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi. Tingkat pendidikan juga masih rendah. Namun dibalik itu semua, banyak anak-anak bangsa yang berhasil mengukir prestasi di dunia internasional. Mereka tidak terkendala oleh keadaan.
Meski sudah 62 tahun Indonesia merdeka dan tepat 100 tahun bangsa Indonesia merintis sebuah era kebangkitan, namun dunia pendidikan Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan mendasar.
Trikulum yang berubah setiap ganti menteri, standarisasi sistem kelulusan, infrastruktur gedung dan peralatan yang tidak layak hingga anggaran pendidikan yang minim. Namun dibalik itu puluhan anak - anak Indonesia berhasil meraih prestasi di kanca internasional diberbagai bidang dari fisika, matematika, biologi, olahraga hingga seni.
Salah satunya adalah Stefano Chiesa Suryanto, pelajar kelas 5 SD Santa Theresia Jakarta Pusat ini memiliki prestasi yang luar biasa. Prestasi paling gemilang adalah saat ia berhasil memperoleh medali emas dan mendapat penghargaan The Best Theory dalam Olympiade matematika untuk tingkat Sekolah Dasar tahun 2007. Yang lebih membanggakan Stefano merupakan peserta termuda dan berhasil meraih medali emas sekaligus mendapatkan nilai tertinggi.
Piala - piala ini dan penghargaan dalam bentuk medali serta piagam ternyata baru sebagian saja dari sejumlah penghargaan yang diperolehnya. Stefano mulai mengukir prestasi sejak kelas 3 SD ketika mengikuti kompetisi matematika terbuka tahun 2005 dan berhasil menjadi juara I.
Padahal saat itu orangtuanya sangat tidak yakin Stefano akan menjadi juara, karena dia harus mengalahkan ratusan peserta. Setelah itu berbagai kejuaraan mulai dari tingkat nasional hingga internasional selalu ia ikuti dan mendapatkan gelar juara.
Bagi anak - anak seusia Stefano mungkin merasa susah dan seram ketika berhadapan dengan matematika. Namun tidak bagi Stefano matematika dengan angka - angka sebagai hurufnya justru merupakan bahasa yang indah sekaligus penuh tantangan.
Peran kedua orangtua dalam mendidik Stefano hingga mencapai prestasi ini sangat besar. sejak kecil orangtuanya menanamkan nilai kerja keras dan disiplin tinggi kepada anak - anaknya. 

Berbeda dengan seorang pelajar kelas 1 SMA K Penabur 1 Jakarta ini. Anak yang dikenal kalem ini disegani oleh teman - temannya karena kecerdasannya. Kevin Winata namanya. Anak pertama dari tiga bersaudara ini pada bulan April lalu berhasil merebut medali emas Olympiade Fisika Tingkat Asia di Mongolia. Meraih medali emas tentu merupakan kebanggaan bagi Kevin, apalagi ia membawa nama bangsa ke kanca internasional.
Kevin juga menerima bantuan uang sebesar 10 juta rupiah dari Departemen Pendidikan Nasional. Sebelumnya Kevin berjuang keras untuk meraih medali emas ditingkat propinsi dan nasional dalam Olympiade Sains Nasional.
Berbagai hadiah diraihnya seperti medali emas, piagam dan sejumlah uang. Bagi Kevin fisika adalah mata pelajaran yang mudah dipahami. Belajar fisika berarti belajar tentang kehidupan disekitarnya. Belajar tentang fisika tidak selalu harus dimelototi rumus - rumus yang berbelit, melainkan pelandasan konsep yang kuat.
Awalnya Kevin iseng - iseng ikut kejuaraan fisika ditingkat propinsi. Ketika itu ia masih duduk dikelas 2 SMP. Dari sinilah Kevin terus mengasah kemampuannya sambil mengikuti kegiatan kursus - kursus fisika.
Untuk berbagi ilmu tidak jarang ia menjelaskan dan memecahkan soal fisika kepada rekan - rekannya dikalang kelas. Pelajaran menghafal merupakan pelajaran yang sulit bagi Kevin. Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial dianggap pelajaran yang memerlukan waktu lama.
Berkat prestasinya Kevin akan buktikan dalam lomba kejuaraan fisika internasional bulan Juni mendatang. Dia akan tersaing dengan pelajar dari 83 negara di dunia.






Segmen II
Farid Firmansyah, seorang pelajar SMP di Bekasi, Jawa Barat berhasil menjadi juara dalam kejuaraan catur pelajar internasional. Walaupun orangtuanya hanyalah pedagang kecil, namun semangat Farid tidak pernah surut untuk meraih prestasi tertinggi.
Prestasi internasional didunia olahraga memang sangat minim, bahkan hampir setiap tahun diberbagai cabang olahraga yang dipertandingkan tidak menunjukan hasil yang menggembirakan. Dari berbagai cabang olahraga tidak banyak lomba yang menjuarai di dunia internasional.
Namun seorang pelajar kelas 3 sebuah SMP di Bekasi, Jawa Barat mampu meraih prestasi luar biasa. Namanya Farid Firmansyah, ia berhasil menjadi juara catur dunia tingkat pelajar. Farid Firmansyah merupakan anak kedua dari 3 bersaudara.
Sosok Firman dikenal pendiam, jika ia menang dalam pertandingan catur, uang hasil jerih payahnya selalu diberikan kepada orangtuanya. Ia mulai mengenal dunia catur yang masih duduk dikelas 3 SD. Firman hampir setiap hari bermain catur dengan siapa saja. Sang ayah yang berprofesi sebagai pedagang rokok di warung yang melihat bakat dan kemampuan anaknya langsung menyekolahkan ke Sekolah Catur Utut Hadianto.
Penghargaan ini merupakan kebanggaan Firman selama ia menjadi juara ditingkat nasional dan internasional dibidang olahraga catur. Dalam keseharian selain mengikuti kursus catur selama 6 jam sehari, Firman juga membantu ayahnya berjualan rokok di warung.
Rumah ini dibeli dari uang hadiah Farid saat menjadi juara dunia catur ditingkat pelajar. Sebelumnya ia dan keluarganya tidur di gerobak warung. Farid sendiri mendapat prioritas dari sekolahnya karena ia tidak sepenuhnya mengikuti kegiatan belajar mengajar. Setiap dua minggu sekali Farid mendapatkan pelajaran tambahan melalui guru sekolah yang datang ke rumahnya.
Untuk terus mengasah dan meningkatkan kemampuannya Farid membaca buku - buku catur dan bermain catur dengan menggunakan komputer. Orangtua Farid berharap anaknya dapat meraih gelar grand master yang akan dipertandingkan pada tingkat kejuaraan catur tahun ini prestasi yang diukir oleh sang guru catur Indonesia untuk Utut Hadianto.




Duta Kecil dari Pontianak
Bryan Jenvoncia, anak berusia 6,5 tahun asal Pontianak, Kalimantan Barat berhasil memenangkan lomba desain perangko yang diadakan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Dia berhasil mengalahkan 12 ribu pesaingnya yang datang dari 124 negara. Hasil karya Bryan akan menjadi perangko resmi Perserikatan Bangsa Bangsa.
Dilihat sekilas tidak ada yang istimewa dari sosok Bryan, bocah yang masih duduk dibangku kelas 2 Sekolah Dasar ini. Setiap hari sepulang sekolah, Bryan langsung bermain layaknya anak seusianya atau bermain dengan kakaknya.
Prestasi Bryan memang patut dibanggakan yang menjadi pemenang dalam lomba desain perangko Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) bertajuk We Can End Poverty, sehingga Bryan mendapat penghargaan dari Sekjen PBB Ban Ki Moon di New York, Amerika Serikat pada 17 Oktober tahun lalu.
Sebenarnya Bryan dan orangtuanya tidak menduga akan berhasil menjadi pemenang, karena Brayn harus mengalahkan 12 ribu peserta dari 124 negara. Lukisan Bryan berlatar belakang anak-anak yang bermain dengan memanfaatkan potongan kain bekas jahitan ibunya. Sementara sang ibu terlihat sedang menjahit baju.
Bryan sempat menghadapi masalah saat akan berangkat ke Amerika Serikat bersama kedua orangtuanya karena harus dengan menanggung biaya sendiri. Namun setelah melalui perjuangan berat, akhirnya Pemda Provinsi Kalimantan Barat bersedia menanggung biaya keberangkatan Bryan bersama ibunya untuk menerima penghargaan Sekjen PBB.
Sepulang dari Markas Besar PBB, hal yang sangat membanggakan buat Bryan adalah diundang oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Istana Negara. Karena sejak dahulu, Bryan bercita-cita ingin bertemu dengan presiden. Saat bertemu Bryan, presiden berpesan agar Bryan tidak boleh puas dengan apa yang telah diraihnya. Bryan juga harus meningkatkan prestasi lainnya seperti prestasi di sekolah.
Sepulang dari bertemu dengan presiden, Bryan semakin termotivasi untuk terus giat belajar. Di rumah, ia tidak bisa bersantai. Bryan belajar dengan bimbingan guru private yang setiap hari datang ke rumahnya. Hasilnya tidak sia-sia, Bryan berhasil menjadi juara kelas. Kemampuan melukis Bryan menurun dari ibunya. Karena sang ibu Rosalina merupakan lulusan D3 jurusan desain dari sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta.
Talenta Bryan sudah nampak sejak dia berusia 3 tahun. Sejak kecil ia senang mencorat - coret dinding rumahnya. Bryan yang tinggal disebuah rumah toko di Jalan Sumatera, Pontianak ini juga kerap didatangi teman-temannya untuk belajar melukis. Kini Bryan mulai mencoba melukis diatas kanvas. Menurut Bryan, melukis diatas kanvas lebih menantang dan mengasyikan karena membutuhkan keuletan dan jiwa kreativitas yang tinggi. Kini Bryan sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti kompetisi melukis bergensi pada bulan Juni di Manila, Filipina.
Bryan berharap bisa kembali mendulang sukses. Bryan telah mengoleksi puluhan piala dan berbagai perlombaan melukis ataupun prestasi di sekolah yang pernah diraihnya. (Dv/Sup)


Tidak ada komentar: